My Memory (Cerpen)

Rabu, 09 Mei 2012


      My Memory
                In the end, it's not going to matter how many breaths you took, but how many moments took your breath away shing xiong
                Kosong. Gelap. Hitam. Sunyi. Tidak ada yang tampak disini, kecuali tubuhku yang terbaring di tanah. Aku bangkit dan memandangi sekitarku. Hanya kebingungan yang pertama kali terbersit di pikiranku. Otakku tidak bisa berpikir. Kepalaku terlalu sakit untuk memikirkan semuanya. Dimana keberadaanku dan apa yang aku lakukan disini.
            Tempat ini menakutkan dan sangat gelap. Aku hampir menangis memikirkan bahwa saat ini aku sendirian di tempat asing ini. Karena merasa tidak nyaman, kucari jalan keluar. Kemudian berjalan-jalan, berharap ada sebuah pintu yang dapat membuatku keluar dari tempat ini. Atau setidaknya cahaya untuk menerangi kegelapan. Namun, tempat itu seperti tak berujung. Tidak ada dinding atau pembatas apapun. Setiap aku berjalan, semuanya terasa sama. Gelap dan kosong.
Tiba-tiba, muncul angin kuat dari belakang ku. Menerpa punggung  dan rambutku. Dan saat berbalik badan, cahaya muncul. Terang. Sangat terang. Bahkan aku menutup mataku saking silaunya. Tubuhku membatu. Cahaya itu masih menyorotku. Tak lama kemudian, angin kuat itu pun mereda seiring dengan sirnanya cahaya terang itu. Aku mencoba memberanikan diri untuk membuka mata secara perlahan.
            Air. Itulah yang dapat kulihat saat pertama kali aku membuka mata. Aku tersenyum tipis saat merasakan kaki telanjang ku memijak tanah. Tidak, ini bukan tanah tapi pasir. Pasir yang lembab. Terasa angin sepoi-sepoi mengelus wajahku lembut. Disana matahari muncul di balik awan. Malu-malu memandangiku. Aku merasa bahagia bisa melihat dunia lagi. Aku bersyukur tidak berada di tempat gelap yang mengerikan itu. Aku tersenyum bahagia.
            Tiba-tiba sepasang tangan manusia memelukku dari belakang. Aku menahan napas tanda takut. Aku mencoba meliriknya dari ujung mataku. Namun aku tidak bisa. Aku tidak bisa melihat wajah orang itu. Ia semakin mengeratkan pelukannya dan meletakkan kepalanya di pundakku santai. Dan yang pertama kali dapat kulihat adalah hidungnya. Hidung yang mancung dan kulit yang pucat.
            Detik itu juga, orang asing itu memutarbalikkan badanku sehingga aku bisa menghadapnya. Aku terkesiap saat melihat seorang lelaki yang kukenal sebagai orang yang dulu pernah mengisi hatiku. Sekitar 6 tahun yang lalu. Ia memandangiku dengan tatapannya yang lembut. Aku ingat sekali tatapan itu. Tatapan yang membuatku tidak bisa tidur memikirkannya. Mata indah berwarna cokelat milik Nathan.
            Senyumanku mengembang saat Nathan menarikku berlari ke arah laut. Menerjang ombak yang bergerak-gerak hendak menumbangkan kami berdua. Namun pegangan Nathan sangat kuat. Membuatku dapat bertahan di dalam genggamannya. Kurasakan percikan air di wajahku yang dibuat oleh Nathan setelah ia melepaskan tangannya dari genggamanku. Kututupi wajahku dengan telapak tangan. Berusaha menghindari percikan air asin itu. Nathan tampak sangat menikmati kegiatannya walaupun aku sudah berteriak untuk menghentikan perbuatannya itu. Kemudian aku berlari ke arah pantai meninggalkannya. Tawa kemenangan keluar keras dari mulutku.
            Aku terus berlari sampai akhirnya tidak merasakan air pada kakiku. Dadaku naik turun karena napas yang tersenggal-senggal. Tubuhku membungkuk untuk mencoba memperbaiki napas. Kemudian Nathan memanggil ku dengan teriakannya. Panggilan pertamanya aku hiraukan karena aku masih belum sanggup menegakkan tubuhku. Pada panggilan yang kedua, aku mencoba untuk berbalik untuk melihatnya dan …
            Dimana aku?
            Kepalaku terasa pusing melihat semua ini. Mengapa tiba-tiba aku berada di tempat ini? Bukankah barusan aku berada di pantai bersama Nathan? Lalu, mengapa aku bisa berada di tempat gemerlap ini secara tiba-tiba? Kualihkan pandanganku kebawah dan kulihat sebuah lace dress cream yang indah membalut tubuhku lengkap dengan sepatu heels berwarna senada.
            Aku memandang seisi ruangan ini. Penuh dengan meja-meja berisi makanan dan minuman, lampu-lampu kaca bersinar terang, orang-orang yang berpakaian formal sepertiku berlalu-lalang di hadapanku dan ada beberapa yang berdansa di lantai dansa dengan diiringi musik yang mengalun indah. Tiba-tiba seorang lelaki yang kukenal berjalan menghampiriku. Mika, menawarkanku untuk berdansa dengannya.
            Aku mengangguk mengiyakan penawarannya dengan senang hati. Napasku tercekat saat Mika meletakkan tangannya di pinggang ku. Menuntunku untuk bergerak mengikuti alunan musik klasik yang lembut. Mataku tidak bisa beralih dari wajahnya yang tampan malam ini. Ia memang tampan sejak dulu aku mengenalnya. Apalagi di saat ia mengenakan tuksedo hitam seperti malam ini.
            Mika adalah orang yang pernah kubenci dan kucintai dalam waktu yang bersamaan. Ia sangat menyebalkan 4 tahun yang lalu. Mika sering melemparkan bola basketnya kepadaku dengan sengaja dan hanya nyengir kuda saat aku menyuruhnya minta maaf. Tapi aku bisa melihat keberanian dan kebaikannya saat ada orang yang membutuhkan pertolongannya. Itulah yang membuatku memilih untuk menambatkan hati ini padanya.
            Gerakan-gerakan lembut dari Mika membuatku merasa nyaman saat berdiri di hadapannya. Matanya fokus padaku dan senyumannya tak pernah hilang. Aku tidak bisa tidak membalas senyuman itu. Senyuman itu bagaikan sihir yang kuat. Sihir yang membuatku tidak bisa berpaling sedikit-pun darinya.
            Setelah lama kami berdansa, baru kusadari bahwa aku dan Mika kini menjadi tontonan orang-orang di ruangan itu. Lampu yang berkilauan kini telah meredup. Menambah suasana romantis di dalamnya. Kemudian Mika memutar tubuhku dan …
            A … apa … apa yang terjadi?
            Oke, bagaimana aku bisa menjelaskan kejadian ini? Bagaimana bisa aku berada disini sekarang? Aku ingat dengan jelas apa yang barusan terjadi. Baru saja aku berdansa dengan Mika kemudian ia memutar tubuhku dan semua berubah menjadi seperti ini. Yang benar saja, aku sekarang sudah ada di sebuah aula kosong yang asing sekali di mataku. Apa aku bisa berpindah tempat dengan cepat? Aku rasa tidak mungkin! Aku yakin bahwa aku bukan seorang superhero atau penyihir atau apapun itu dengan segala kekuatan yang mereka miliki. Aku hanya gadis biasa.
            Ku pandangi seisi aula itu. Aula ini seperti aula yang biasa kulihat, dengan baris-baris bangku yang tersusun rapi dan panggung besar nan megah di depan sana. Hanya piano besar itu saja yang tampak membuat aula ini berbeda dan … seorang lelaki yang tampak sangat kecil bila kulihat dari tempatku sekarang. Kulihat ia sedang tersenyum ke arahku. Walaupun tampak kabur dari sini, namun aku bisa melihat senyuman itu. Kemudian ia melambai, mengisyaratkan padaku untuk turun kesana. Awalnya aku berharap orang itu menunjuk ke arah lain. Tapi setelah melihat bahwa tidak ada orang lain selain aku disini, akhirnya aku turun dengan ragu.
            Dengan perlahan aku naik ke panggung dan terkejut saat melihat orang yang melambai padaku itu adalah Deri. Lelaki yang sangat kucintai dengan segenap hatiku. Deri sebenarnya adalah teman kecilku. Kami berteman sejak menginjak Sekolah Dasar. Namun, tiba-tiba ia mengungkapkan perasaannya padaku saat aku sedang terpuruk karena ditinggalkan oleh Mika. Ia selalu melindungiku dan menghiburku saat aku terjatuh karena kesalahan yang kubuat. Dan dengan bodohnya aku baru sadar bahwa dia-lah yang orang yang kucari selama ini. Bahwa yang ada di hati ini hanya dia seorang.
            Deri menarik tanganku lembut untuk duduk di sebelahnya, di bangku grand piano itu. Sebelum ia mendentingkan nada-nada indah, ia menunjukkan senyumnya terlebih dahulu padaku yang seketika membuat dada ku bergejolak. Kemudian Deri memainkan lagu “Love Me” milik pianis terkenal dari Negeri Ginseng, Yiruma. Ia memainkannya dengan penuh penghayatan. Tangan-tangannya yang menari-nari indah pada tuts piano yang berwarna hitam dan putih itu benar-benar membuatku terkagum-kagum. Sungguh permainan piano yang sangat menakjubkan!
            Kupandangi wajahnya dari samping dan baru kusadari bahwa ada sebuah bekas luka pada lehernya. Bekas luka yang mengundang senyum geli dariku. Aku ingat ia pernah membuatku menangis saat bermain pedang-pedangan dengan ku. Ia berpura-pura menjadi penjahat dan akulah korban si penjahat itu. Lalu ia mengancungkan pedangnya padaku. Tapi karena ketakutanku yang berlebihan, akhirnya aku mengambil sebuah pensil tajam dan kugoreskan ke lehernya. Sampai saat ini bekas luka itu masih terlihat di lehernya sebelah kiri. Melihat luka itu masih berbekas sampai sekarang membuatku merasa bersalah. Memang saat itu aku benar-benar ketakutan sampai akhirnya melakukan hal bodoh.
            Memori masa laluku buyar seketika saat Deri mengguncang pelan bahuku. Aku memandanginya penuh tanya. Menunggunya mengatakan sesuatu. Namun tubuh ini membeku dibuatnya. Mataku membulat dan napas ku tercekat saat Deri mencium lembut pipi kiriku.
            “ Satu hal yang harus kamu tahu bahwa aku mencintaimu sampai saat ini. Bahkan saat kamu sudah tidak di sisiku lagi.” Itulah kalimat terakhir yang Deri ucapkan setelah kejadian aneh yang tidak masuk di akal ku terulang kembali. Ya, berpindah tempat.
            Kali ini tidak ada ekspresi kaget lagi seperti tadi. Kurasa aku sudah kebal dengan perpindahan tempat selama beberapa menit ini. Namun perasaan ini yang berbeda dari sebelumnya. Aku mencium bau tanah yang sedikit lembab dan merasakan udara yang sangat dingin menembus kulitku. Bulu kudukku seketika merinding saat menyadari bahwa aku sedang berada di tengah makam-makam yang tersusun rapi dengan rumput-rumput hijau di atasnya.
            Ketakutan mulai merasuki hati ini membuatku tidak nyaman berlama-lama di tempat pemakaman ini. Kemudian aku mundur perlahan-lahan hendak mencari jalan keluar. Namun pandanganku terhenti pada kerumunan orang-orang berpakaian hitam yang sedang meratapi kepergian seseorang yang kini sudah ada di dalam makam itu. Mereka kelihatan terpukul dengan kematiannya. Air mata tumpah seiring dengan dimasukkannya peti itu ke dalam tanah. Seorang wanita paruh baya yang kutebak sebagai ibu orang yang telah pergi itu kini menangis meraung-raung di dalam pelukan suami dan anak-anaknya. Pemandangan yang menyedihkan.
            Kemudian satu per satu orang pergi meninggalkan makam itu. Aku tidak tahu apa yang membuat kaki ini berjalan menuju makam yang barusan di tutup itu. Padahal baru saja aku merasakan ketakutan yang sungguh. Namun aku ikuti saja keinginan di hati kecil ini. Setelah sampai, aku melihat batu nisan dan … Oh Tuhan, tidak mungkin! Sebuah nama yang sangat kukenal terukir di batu nisan itu rapi. Nama yang membuat jantung ku mencelos keluar. Aku merasa melihat namaku di batu nisan itu. Mungkin aku salah lihat dan aku berharap seperti itu. Namun kenyataan berkata berbeda. Nama Amy Rowena terukir indah di batu nisan yang besar itu.
            Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Badanku bergetar hebat. Aku ingin segera bangun kalau semua ini adalah mimpi dan aku ingin segera berlari kalau semua ini adalah fakta. Aku mohon hentikan semua ini! Aku mohon! Air mata itu kini telah jatuh tanpa bisa kutahan lagi. Jantungku berdegup kencang ketakutan. Mulutku membisu dan tubuhku kaku dibuatnya. Setelah itu kurasakan cahaya hitam muncul secara tiba-tiba di hadapanku. Berputar-putar seperti tornado dan bergerak perlahan kearahku. Aku hanya bisa memejamkan mata saat kegelapan itu menelanku bulat-bulat. Berdoa di dalam hati agar semua ini akan cepat berakhir.
            Gelap. Itulah yang muncul pertama kali di hadapanku saat aku membuka mata. Baru kusadari bahwa kini aku kembali ke tempat yang menakutkan itu lagi. Tempat yang tak berujung dan sangat identik dengan kegelapan. Kesunyian meliputi pendengaranku. Aku menangis meraung-raung saat menyadari bahwa ini bukanlah mimpi. Telah berkali-kali ku tampari pipi ini, berharap dengan cara itu aku kembali ke atas ranjang empukku. Namun semuanya sia-sia. Suasana mencekam itu masih mengikat hatiku.
            Akhirnya aku memilih untuk melipat tanganku dan berdoa, “ Tuhan, maafkanlah jika selama aku hidup, aku tidak pernah mensyukuri atas apa yang terjadi pada hidupku. Aku janji untuk selalu mengingat kenangan di setiap detik hidupku. Amin.”
                                                                                                Oleh: Sheela
                                                                                    Sekolah : SMAN 3 BATAM

0 komentar:

Posting Komentar